JAKARTA – Seorang Perantau Fredi Seprizal, Jauh-jauh dari Palembang ke Jakarta, tak kunjung mendapat pekerjaan.
Dikutip Penjurupos dari CNN, Ia yang saat itu berusia 23 tahun kemudian hijrah ke Bandung, berbekal ijazah SMK dan pengalaman kerja seadanya.
Di Kota Kembang, Fredi sempat luntang-lantung. Hingga suatu waktu, kawannya memberikan secuil informasi terkait lowongan pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK) di luar negeri melalui lembaga penyalur kerja.
Tanpa berpikir panjang, Fredi pun mengadu nasib bersama seorang kawan. Sebuah awal yang kemudian membawanya terbang 5 ribu kilometer lebih dari Indonesia.
“Karena memang kesulitan dan lagi enggak dapat kerja, susah lah ya, jadi langsung saya ikut teman daftar,” kata Fredi saat bercerita kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
Dia bertolak ke Cirebon, Jawa Barat, setelah mendapatkan konfirmasi lewat panggilan telepon bahwa pendaftarannya bisa dilanjutkan. Fredi kemudian menyerahkan sejumlah dokumen pribadi, seperti ijazah dan sebagainya.
Keesokan harinya, ia diantar ke Pemalang, Jawa Tengah. Fredi didaftarkan ke PT Puncak Jaya Samudera. Ia kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan yang seluruh biayanya ditanggung oleh pihak penyalur kerja.
“Saya tidak curiga sama sekali, karena banyak kan orang-orang non-pengalaman tidak ngerti cara bekerja di kapal, tapi jadi ABK. Pas saya di Pemalang, seluruh biaya hingga pembuatan paspor ditanggung, nanti sistemnya potong gaji kalau sudah di sana,” kata dia.
Setelahnya, Fredi tinggal sementara di sana. Saban hari ia harus mengikuti sejumlah pelatihan baik fisik maupun keterampilan kerja. Ia mengaku diajari cara bekerja di atas kapal, memancing, menggunakan jaring, hingga harus lulus diklat basic safety training (BST).
Kisah pelik dalam hidupnya dimulai pada 29 Mei 2018. Fredi terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, transit di Bandara Internasional Raja Abdulaziz, Jeddah, kemudian melanjutkan penerbangan ke Kepulauan Mauritius, Afrika Selatan. Ia pasrah mengetahui dirinya diterbangkan ke sana.
Sesampainya di Mauritius dan melanjutkan sejumlah perjalanan darat dan laut, Fredi bersama 15 orang WNI lainnya sampai di sebuah kapal berbendera China dengan model kapal longline nomor seri 675.
Longline, lanjut Fredi, merupakan alat tangkap dari golongan line fishing yang ditujukan untuk menangkap tuna dalam ukuran dan jumlah yang besar.
“Pada saat saya datang, kaget. Biasanya habis perjalanan jauh minimal kita diberikan istirahat. Tapi ketika kami sampai di kapal, disambut oleh mandor, disuruh meletakkan barang dan baju, terus langsung kerja,” tutur Fredi.
Dia makin heran pada hari-hari awal bekerja. Fredi bersama belasan ABK lainnya harus bekerja hingga 35 jam tanpa istirahat. Ditambah lagi beban mental yang ia terima lantaran para mandor berkebangsaan China itu kerap melakukan kekerasan baik verbal hingga fisik.
Fredi tidak menyangka akan menjalani pekerjaan berat dan penuh eksploitasi.
“Sering pemukulan yang dilakukan oleh wakil mandor dan mandor ketika melihat kita kerjanya lambat gitu. Itu pemandangan biasa,” ujarnya.
Siang malam ia habiskan di atas kapal selama 18 bulan tanpa bersandar. Pemberian upah pun tak jelas, kadang diberikan tiga bulan sekali. Belum lagi, gaji yang dijanjikan dengan nominal US$300 atau sekitar Rp4,5 juta harus dipotong rutin selama delapan bulan untuk mengganti biaya operasional pemberangkatannya.
Fredi juga harus menyetor uang jaminan sebesar US$800 atau sekitar Rp12 juta selama ia masih bekerja di sana. Berbulan-bulan terombang-ambing di atas lautan akhirnya membuatnya jengah.
Fredi minta agar segera dipulangkan ke Indonesia. Tentu, proses itu tidak mudah. Setelah melalui negosiasi, ia boleh pulang dan dianggap melanggar kontrak. Gajinya hanya diberikan 70 persen, dan dalam beberapa bulan gajinya hanya dialokasikan untuk biaya transportasi kepulangannya.
“Saya memutuskan, setelah diperbudak, dieksploitasi, dimanfaatkan, akhirnya saya dipulangkan,” ujar Fredi.
Fredi akhirnya mendarat di Palembang. Ada perasaan malu kepada tetangga. Sudah setahun lebih bekerja di luar negeri, namun tak juga mendapatkan penghasilan yang cukup. Bahkan belum bisa meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
Fredi pun memutuskan untuk merantau ke Jawa Tengah. Di sana ia bertemu dengan salah satu kawan yang mengenalkannya dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dari perkenalan itu, Fredi mulai paham bahwa selama ini dirinya telah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Diberangkatkan secara ilegal ke luar negeri dan mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan beban kerja.
Fredi akhirnya memutuskan untuk memperjuangkan haknya. Ia memutuskan untuk bergabung dalam SBMI Pemalang. Ia mengadvokasi sejumlah kasus yang sama sambil memperjuangkan kasusnya.
Dalam upayanya itu, ia menilai peran pemerintah nyaris tidak ada. Fredi hanya berjuang bersama SBMI untuk memperjuangkan sejumlah upah yang seharusnya ia dapatkan.
“Kita di Indonesia ini, kalau kita tidak mencari keadilan sendiri, kita tidak akan mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Tren TPPO kian meningkat
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat selama periode 2017-2022, terdapat total 2.523 kasus warga negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di luar negeri. Berdasarkan data itu, terlihat terdapat tren kenaikan kasus yang signifikan sepanjang 2022.
Rinciannya, pada 2017 terdapat 402 kasus TPPO yang dilaporkan. Kemudian menurun pada 2018 dengan 162 kasus, dan selanjutnya menunjukkan tren kenaikan dalam dua tahun berikutnya.
Pada 2019 mencatatkan 259 kasus dan 202 sebanyak 587 kasus. Selanjutnya pada 2021 sempat mengalami penurunan menjadi 361 kasus, dan kembali naik hingga 108 persen menjadi 752 kasus pada 2022.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darawati menyoroti kasus perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa. Dia menilai tindak pidana ini merupakan praktik pelanggaran terburuk terhadap hak asasi manusia.
Bintang sempat menjabat Ketua Pelaksana Harian Satuan Tugas tim pemberantasan TPPO. Namun setelah ada perubahan struktur, posisinya digantikan Kapolri. Meski demikian dia menyatakan KemenPPPA tetap berkoordinasi dan memberikan perhatian lebih untuk masalah TPPO di Indonesia.
TPPO membawa kerugian besar bagi negara dan pembangunan bangsa. Penelitian Global Financial Integrity pada 2017 memperkirakan bahwa secara global rata-rata dalam satu tahun $1,6 triliun hingga $2,2 triliun dihasilkan dari kejahatan transnasional, termasuk TPPO.
Dari 11 kejahatan transnasional tertinggi dalam menghasilkan aliran dana global, harta kekayaan yang dihasilkan kejahatan TPPO merupakan peringkat ke-4 dan diperkirakan mencapai $150,2 miliar per tahun.
Data ILO menunjukkan bahwa angka $150,2 miliar pada 2018 meningkat tajam dari perkiraan aliran dana TPPO senilai $32 miliar pada 2011.
Bintang mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta menghukum seberat-beratnya para pelaku.
Satgas TPPO pada periode 5 Juni sampai 4 Juli 2023 telah menyelamatkan 1.982 korban perdagangan orang. Dengan rincian, perempuan dewasa 889 orang dan perempuan anak 114. Sisanya korban laki-laki dewasa sebanyak 925 orang dan 54 orang laki-laki anak.
Sebanyak 714 pelaku menjadi tersangka. Mereka ditangkap berdasarkan 616 laporan polisi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membeberkan modus kejahatan TPPO terbanyak masih soal iming-iming menjadi pekerja migran dan pekerja rumah tangga. Jumlah 434 kasus.
Modus lainnya yakni menjadikan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK) yakni sebanyak 175 kasus. Selain itu, modus bekerja sebagai ABK tercatat 9 kasus dan eksploitasi anak 43 kasus.***
Editor: Redaksi
Komentar