MAKASSAR – Kisah Pangeran Diponegoro sosok pahlawan Nasional yang memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam perang Diponegoro.
Pahlawan kemerdekaan ini akhirnya diasingkan selama 25 tahun hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Sebelum diasingkan, Pangeran Diponegoro sempat memimpin pertempuran besar melawan Belanda di tahun 1825.
Namun di tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan sehingga pergerakan pasukan Diponegoro semakin terbatas, dikutip dari detikTravel, Senin (17/07).
Pada akhirnya di tahun 1830, Jenderal De Kock berhasil mengepung pasukan Diponegoro di Magelang. Saat itu Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar. Dia mulai berada di Benteng Rotterdam, Makassar sejak tahun 1833 hingga akhir hayatnya pada tahun 1855.
Pangeran Diponegoro Diasingkan
Dalam jurnal UIN Alauddin Makassar yang berjudul ‘Perjuangan Pangeran Diponegoro Melawan Belanda’ dijelaskan bahwa Pangeran Diponegoro menjadi pemimpin perang Diponegoro selama lima tahun, yakni sejak 1825-1830.
Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya.
Setelah memperjuangkan hak-hak masyarakat Jawa, Diponegoro harus merasakan kekalahan. Pangeran Diponegoro ditangkap pada saat melakukan perundingan di wilayah Magelang pada tahun 1830.
Saat itu juga pihak Belanda langsung membawa Pangeran Diponegoro ke dalam kereta menuju ke Batavia untuk menemui jenderal Belanda, Van den Bosch. Dalam perjalan Pangeran Diponegoro merasa tidak nyaman, lantaran penyakit yang dideritanya yakni malaria.
Setelah dari Batavia, Pangeran Diponegoro dan keluarganya dibawa ke tempat pengasingan di Manado. Di perjalanan, cuaca tidak mendukung karena pada saat itu sedang angin barat.
Sesampainya di Manado, Pangeran Diponegoro dikawal ketat oleh pihak Belanda, bahkan pemberangkatannya pun tidak luput dari penjagaan yang diberikan pihak Belanda. Pangeran Diponegoro dikawal tentara serdadu sebanyak lima puluh orang.
Saat diasingkan, Pangeran Diponegoro tetap diberikan tunjangan karena dia adalah tahanan politik dari kalangan kerajaan. Pada saat Pangeran Diponegoro sampai di Manado (Minahasa), permasalahan mulai bermunculan.
Penyebabnya adalah adanya surat perintah yang diberikan jendral ke Residen untuk membuat benteng di sekitaran Manado hanya untuk Pangeran Diponegoro. Namun surat yang diberikan ke Residen Manado itu susah untuk direalisasikan.
Singkat cerita, pada tanggal 20 Juni 1833, Pangeran Diponegoro dipindahkan dari Manado ke Makassar, tepatnya di benteng Fort Rotterdam.
Hal itu dilakukan karena pada saat itu, pihak Belanda mengalami kondisi darurat politik internasional di Eropa, sehingga memaksa Belanda untuk memindahkan Pangeran Diponegoro secara diam-diam ke Makassar.
Setibanya di Makassar pada tanggal 11 Juli 1833, Pangeran Diponegoro dan keluarganya dijaga lebih ketat dibandingkan Manado.
Pangeran Diponegoro tidak diizinkan berkeliaran di luar tembok benteng Rotterdam karena harus mengikuti aturan dari pihak Belanda.
Pangeran Diponegoro dan keluarganya ditahan di ruangan perwira yang dekat dengan pos jaga utama.
Di tahun 1838 Pangeran Diponegoro tidak hanya berdiam diri untuk menunggu ajalnya saja, tetapi ia mulai menyusun dua naskah yang berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa, dan Hikayat Tanah Jawa.
Singkat cerita, pada tanggal 20 Juni 1833, Pangeran Diponegoro dipindahkan dari Manado ke Makassar, tepatnya di benteng Fort Rotterdam.
Hal itu dilakukan karena pada saat itu, pihak Belanda mengalami kondisi darurat politik internasional di Eropa, sehingga memaksa Belanda untuk memindahkan Pangeran Diponegoro secara diam-diam ke Makassar.
Setibanya di Makassar pada tanggal 11 Juli 1833, Pangeran Diponegoro dan keluarganya dijaga lebih ketat dibandingkan Manado.
Pangeran Diponegoro tidak diizinkan berkeliaran di luar tembok benteng Rotterdam karena harus mengikuti aturan dari pihak Belanda.
Pangeran Diponegoro dan keluarganya ditahan di ruangan perwira yang dekat dengan pos jaga utama.
Di tahun 1838 Pangeran Diponegoro tidak hanya berdiam diri untuk menunggu ajalnya saja, tetapi ia mulai menyusun dua naskah yang berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa, dan Hikayat Tanah Jawa.
Ibu dan anak ini meninggal dunia dalam jarak waktu dua tahun. Raden Ayu Mangkorowati meninggal pada 7 Oktober 1852 sementara anaknya, Pangeran Diponegoro, wafat pada 8 Januari 1855.
Sebelum wafat, Pangeran Diponegoro meminta dirinya, istri, dan anak-anaknya tidak dipulangkan ke tanah Jawa. Dia ingin dimakamkan di Kota Makassar tempat Pangeran Diponegoro mengembuskan napas terakhir.
Hal itu diungkapkan oleh keturunan kelima Pangeran Diponegoro, Raden Hamzah Diponegoro. Dia mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah memilih Makassar sebagai tempat ia dimakamkan.
“Sebelum beliau mengembuskan napas (terakhir), dia sudah mengamanahkan dirinya, mewakafkan dirinya bersama istri dan anak-anaknya. ‘Sepeninggal saya nanti tidak usah pulangkan saya ke tanah Jawa’,” kata Raden Hamzah di pemakaman Pangeran Diponegoro, Makassar, Jumat (14/7/2023).***
Komentar