Dari Mendikbud Revolusioner ke Pusaran Kasus Korupsi

Dari Mendikbud Revolusioner ke Pusaran Kasus Korupsi
Foto: Shelza Putri Danty Mahasiswa universitas Andalas

Oleh : Shelza Putri Danty 
Mahasiswa universitas Andalas

Indonesia dihebohkan dengan ditangkapnya mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia yaitu Nadiem Makarim. Kasus penangkapan Nadiem Makarim bukan sekadar perkara hukum, Kasus ini sebenarnya jadi tanda bahaya bahwa cara pemerintah mengurus pengadaan barang masih kacau.

Padahal, banyak orang dulu berharap besar pada Nadiem karena dianggap sebagai sosok muda yang membawa semangat perubahan. Namun kini, justru ia terseret ke pusaran kasus korupsi raksasa senilai triliunan rupiah. Ironisnya, proyek yang diklaim sebagai lompatan teknologi pendidikan justru berubah menjadi ladang bancakan berkedok digitalisasi.

Kasus ini sebenarnya bukan sekadar soal proyek laptop untuk pembelajaran daring. Ini adalah contoh nyata bagaimana program pendidikan bisa berubah menjadi proyek bisnis ketika kekuasaan bertemu kepentingan.

Dengan dalih digitalisasi sekolah saat pandemi 2020–2022, pemerintah menggelontorkan dana APBN dan DAK dalam jumlah besar. Namun anehnya, spesifikasi perangkat langsung dikunci hanya untuk Chromebook. Bukannya membuka peluang berbagai merek dan menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, pilihan sengaja dipersempit seolah-olah hanya satu produk yang paling layak. Di sini publik wajar curiga, ini program pendidikan atau promosi produk?

Kerugian negara yang ditaksir mencapai hampir Rp2 triliun jelas bukan angka kecil. Dan lebih parahnya, kasus ini bukan dilakukan sendirian. Ada empat pejabat lain yang ikut terlibat, mulai dari staf khusus hingga direktur di Kemendikbud. Artinya, praktik ini bukan kecelakaan administratif, melainkan operasi berjamaah yang berjalan rapi dalam sistem. Inilah bukti bahwa korupsi di negeri ini tidak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi, tapi lewat kebijakan resmi yang dikemas seolah demi kepentingan publik.

Yang paling ironis, Chromebook yang dipaksakan itu justru tidak relevan bagi ribuan sekolah di daerah 3T. Bagaimana mau dipakai kalau internet saja tidak ada? Pemerintah seolah menutup mata terhadap realitas di lapangan demi mengejar proyek bernilai fantastis. Kalau benar program ini dibuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kenapa hasilnya justru banyak perangkat yang menganggur?

Kecurigaan makin kuat ketika muncul fakta bahwa sebelum keputusan tender diambil, Nadiem tercatat enam kali bertemu dengan pihak Google Indonesia. Pertemuan seperti itu mungkin bisa disebut koordinasi, tapi di tengah proyek bernilai triliunan, publik berhak bertanya, koordinasi atau lobi? Kasus Chromebook ini harus jadi tamparan keras.

Jangan lagi pemerintah berlindung di balik istilah transformasi digital kalau ujung-ujungnya hanya jadi alasan untuk menghamburkan uang negara. Yang membuat geram, anggaran triliunan dipakai untuk beli laptop yang bahkan tidak bisa dipakai oleh ribuan sekolah. Ini bukan hanya pemborosan, ini penghinaan terhadap akal sehat.

Pada akhirnya, kasus ini membuka mata kita bahwa masalah utama pendidikan Indonesia bukan hanya soal kurangnya teknologi, tapi rusaknya integritas para pengelolanya. Selama kebijakan bisa diarahkan demi keuntungan segelintir orang, pendidikan tidak akan pernah benar-benar merdeka. Dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah runtuh.

Inilah saatnya kita menolak cerita bahwa korupsi adalah kesalahan individu. Korupsi adalah gejala dari sistem yang membiarkan kekuasaan tanpa kontrol publik. Kalau rakyat hanya dibiarkan menjadi penonton dan media hanya menjadi penyampai konferensi pers, maka pola ini akan terus berulang. Hari ini Nadiem, besok nama lain, dengan modus yang sama, proyek besar, alasan mulia, hasilnya jebakan.

Jadi pertanyaannya bukan lagi, Apakah Nadiem bersalah?, tetapi Apakah negara ini akan terus menyerahkan kebijakan pendidikan kepada mereka yang melihat anak-anak sebagai pasar, bukan sebagai masa depan?

Kalau benar pendidikan adalah investasi bangsa, maka saatnya rakyat menuntut transparansi total atas setiap rupiah yang keluar atas nama pendidikan. Bukan hanya untuk menyeret pelaku ke penjara, tetapi untuk memastikan agar masa depan bangsa tidak lagi dijual dalam bentuk perangkat elektronik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index